Affiliate Programs •  SEO •  Banner •  Advertising •  Resources

Minggu, 15 Februari 2009

八仙過海 delapan dewa

Ba Xian (Delapan Dewa)


Ba Xian [Delapan Dewa / Pat Shien] adalah Dewa-Dewi Tao yang hidup pada masa yang berbeda dan dapat mencapai kekekalan hidup. Mereka sering dilukiskan pada benda-benda porselen, patung, sulaman, lukisan dan sebagainya.

Dewa-Dewi Ba Xian menggambarkan kehidupan yang berbeda, yaitu Kemiskinan, Kekayaan, Kebangsawanan, Kejelataan, Kaum Tua, Kaum Muda, Kejantanan dan Kewanitaan.

Ba Xian dihormati dan dipuja karena menunjukkan kebahagiaan.

Kisah Ba Xian menunjukkan bahwa kita dapat mencapai kehidupan abadi dalam kebahagiaan, melalui tindakan-tindakan yang tidak mementingkan diri sendiri dan melakukan perbuatan-perbuatan baik.


Zhongli Quan

Memiliki nama keluarga Zhongli dan hidup pada masa Dinasti Han, karena itu ia juga dikenal sebagai Han Zhongli. Zhongli Quan adalah seorang Jenderal dalam kerajaan pada masa Dinasti Han.

Pada hari tuanya dia menjadi petapa dan mendalami ajaran Tao.

Biasa digambarkan sebagai laki-laki gemuk bertelanjang perut dan membawa kipas bulu yang dapat mengendalikan lautan.

Zhang Guolao

Zhang Guolao adalah kepala akademi kerajaan, namun dia mengundurkan diri untuk menjadi petapa di Gunung Chuang Tiao di Shanxi.

Memiliki keledai ajaib yang dapat membawa dirinya berjalan ribuan kilometer setiap hari. Ketika mencapai tujuan, dia mengubah keledai tersebut menjadi kertas dan Zhang Guolao melipatnya untuk dimasukkan dalam sakunya. Untuk menghidupkannya dia membuka lipatan tersebut dan meniupnya.

Kaisar Tang Ming Huang ingin mengangkat Zhang Guolao bekerja di istana, tetapi dia tidak bersedia meninggalkan kehidupan pengembaraannya. Setelah dua kali menghadap kaisar, pertapa ini pun menghilang entah kemana.

Sering digambarkan sedang menunggangi keledai secara terbalik. Simbolnya adalah tempat ikan yang terdiri dari batang bambu dengan tabung kecil yang muncul di ujungnya. Ia dipuja sebagai pembawa keturunan laki-laki.

Lu Dongbin

Seorang sastrawan dan petapa yang mempelajari Tao dari Zhongli Quan. Di tangan kanannya sering membawa kebutan suci pendeta Tao.

Simbol Lu Dongbin adalah pedang Pembunuh Roh Jahat dan dengan gerakan terbang yang cepat.

Sebelum mempelajari Tao, Lu Dongbin diuji dengan berbagai ujian berat oleh Zhongli Quan, yang berhasil diatasi semuanya.

Lu Dongbin dapat dikatakan sebagai salah satu Dewa yang paling tersohor dari Delapan Dewa. Ia dianggap sebagai penolong orang miskin dan pembasmi roh-roh jahat.

Li Tieguai

Memiliki nama asli Li Xuan dan hidup pada masa Dinasti Sui. Dia melambangkan cacat dan keburukan. Dia berusaha untuk meringankan beban penderitaan umat manusia. Li Tieguai memiliki sebuah tongkat besi dan bermuka hitam. Dia membawa sebuah labu yang digunakannya untuk menolong umat manusia.

Suatu hari, ketika rohnya pergi ke Huashan, dia memberitahukan muridnya, Lang Ling, untuk menjaga badannya dan membakarnya apabila dia tidak kembali dalam tujuh hari.

Dalam hari ke enam, Lang Ling mendapat kabar bahwa ibunya sakit keras dan sebagai seorang anak dia harus merawat ibunya. Maka dia membakar badan tersebut satu hari lebih awal.

Ketika roh Li Tieguai kembali keesokan harinya, dia tidak dapat menemukan badannya sehingga dia memasuki badan seorang tua yang baru saja meninggal.

Namun, orang tua tersebut ternyata cacat. Pada saat pertama, Li ingin meninggalkan badan tersebut, tetapi Lao Zi / Lao Tze ( ) membujuknya dengan mengatakan bahwa penerapan dari ajaran Tao tidak tergantung penampilan. Lao Zi lalu memberi tongkat besi kepada Li Tieguai.

Li Tieguai kadang digambarkan sedang berdiri di atas kepiting atau ditemani seekor menjangan.

Cao Guojiu

Hidup pada masa Dinasti Song dan merupakan putra dari Cao Bin, seorang komandan militer, dan saudara laki-laki dari Ratu Cao Hou, ibu dari Kaisar Yin Zong.

Cao Guojiu digambarkan memakai jubah kebesaran dan topi pengadilan. Di tangannya ada kertas catatan kerajaan dan sepasang alat musik kastanyet.

Suatu hari Zhongli Quan dan Lu Dongbin bertemu dengannya dan menanyakan apa yang sedang dia lakukan. Dia menjawab bahwa dia sedang belajar Tao.

"Apakah itu dan dimanakah itu?", mereka balik bertanya.

Pertama-tama dia menunjuk ke langit dan kemudian ke hatinya.

Lan Caihe

Sering ditampilkan berpakaian biru dengan tidak bersepatu.

Sambil melambai-lambaikan sepasang tongkat, ia mengemis sepanjang jalan. Lan Caihe terus menerus membacakan syair-syair yang menggambarkan kehidupan yang tidak kekal beserta kesenangan-kesenangan yang hampa.

Ia berkelana ke seluruh negeri sambil menyanyi dan membawa keranjang bunga. Lan Caihe terkadang terlihat seperti wanita.

Han Xiangzi

Han Xiangzi melambangkan masa muda. Dia adalah keponakan dari Han Yu, seorang menteri pada pemerintahan Kaisar Hsing Tung dari Dinasti Tang.

Simbolnya adalah sebuah suling. Seorang pecinta kesunyian, mewakili orang ideal yang senang tinggal di tempat alamiah.

Han Xiangzi sering menyusuri desa sambil meniup seruling dengan merdu sehingga menarik perhatian burung-burung dan binatang lainnya.

Han Xiangzi tidak mengenal nilai uang dan bila diberi uang akan dia sebarkan di tanah.

He Xiangu

Satu-satunya wanita diantara Delapan Dewa.

Berpenampilan halus dan lemah lembut, dan sering terlihat membawa bunga teratai yang dapat dipakai untuk mengobati orang sakit.

Kadang-kadang dia digambarkan berada di atas kelopak teratai yang terapung sambil memegang pengusir lalat.

Zhongli Quan Mempelajari Tao

Zhongli Quan berasal dari Yantai di propinsi Shandong [Shantung]. Ayah Zhongli Quan adalah seorang bangsawan.

Sebagai anak laki-laki, Zhongli Quan gemar membaca. Ia juga mempelajari seni perang dan pedang. Semua kelebihan itu menjadi berarti dengan sifat Zhongli Quan yang sopan dan tidak segan-segan untuk membantu yang lemah dan tidak berdaya.

Ia menjadi seorang Jenderal setelah dewasa.

Suatu hari, Zhongli Quan memimpin pasukan untuk melawan Tufan, yang saat sekarang disebut Tibet.

Karena pasukan Tufan lebih besar dan pasukan Zhongli Quan kurang pengalaman, akhirnya mereka dikalahkan. Keadaan memaksa Zhongli Quan melarikan diri.

Di tengah kepanikan, Zhongli Quan hanya memacu kudanya secepat mungkin, tanpa memperdulikan arah dan tujuan.

Kemudian dia sadar bahwa dirinya telah tersesat. Namun kelelahan membuat Zhongli Quan urung mencari jalan keluar.

Secara tiba-tiba muncul seorang pendeta muda didepannya, dan mengantar Zhongli Quan ke suatu ladang pertanian.

Pendeta muda tersebut memperkenalkan tempat itu sebagai tempat guru Donghua belajar Tao. Dan mempersilahkan Zhongli Quan untuk beristirahat di tempat tersebut. Namun Zhongli Quan tidak berani mengganggu orang-orang di sana dan hanya mondar-mandir sendiri.

Tiba-tiba muncul seorang pendeta tua yang menyapa, "Bukankah anda Jenderal Zhongli Quan? Mengapa tidak masuk?"

Zhongli Quan sangat terkejut. Ia sadar bahwa pendeta tua dihadapannya bukanlah orang sembarangan. Dengan perasaan lega ia langsung berlutut dan memohon agar sang pendeta bersedia mengajarinya Tao.

Pendeta tua tersebut menerima Zhongli Quan sebagai murid dan mengajarinya seni keabadian. Zhongli Quan belajar Tao untuk waktu yang lama.

Ketika Zhongli Quan menoleh ke belakang setelah dia berpamitan, tempat itu lenyap tanpa bekas.

Dikemudian hari, Zhongli Quan bertemu dengan Dewa Huayang dan mendalami ajaran Tao lebih lanjut.

Sejak saat itu, Zhongli Quan sering berkeliling seluruh negeri dan akhirnya dapat mencapai Tao dan menjadi Dewa.

Ah Guang Bertemu Dewa

Ah Guang adalah orang yang miskin tetapi jujur dan tulus. Jejaka ini tinggal di Bukit Bambu Emas, sebelah Gunung Tiantai.

Pada suatu hari di musim semi, ia pulang dari kota memikul dua keranjang garam milik penjual garam. Ketika tiba di Gunung Tiantai, ia melihat 2 orang sedang bermain catur.

Lelaki yang berpakaian hijau dan gemuk adalah Zhongli Quan dan yang berpakaian biru adalah Lu Dongbin. Ah Guang tidak mengenali mereka. Ia meletakkan pikulannya dan menonton mereka bermain catur.

Beberapa lama kemudian, Zhongli Quan mengeluarkan buah persik dari sakunya.

Tiba-tiba Lu Dongbin mengejutkan Zhongli Quan, "Skak!", sehingga buah persik di tangan Zhongli Quan terlempar ke belakang mengenai Ah Guang.

Zhongli Quan berkata, "Maaf telah mengenai anda."

Ah Guang menjawab, "Tidak apa-apa. Itu sebenarnya salahku. Saya sangat tertarik atas permainan catur anda sehingga berdiri terlalu dekat."

Ketika Ah Guang mengembalikan buah persik tersebut, Zhongli Quan berkata, "Hari sangat panas. Orang muda, jika anda tidak keberatan, makanlah buah persik itu."

Karena memang dirinya merasa haus, Ah Guang memakan setengah buah persik tersebut.

Setelah memakannya, Ah Guang merasakan aliran tenaga yang menggelora dalam dirinya.

Waktu Ah Guang akan membuang sisa buah persik, Lu berkata, "Jangan membuang sisa buah persik itu. Bawalah pulang dan mungkin kelak akan berguna."

Ah Guang asyik menonton catur hingga lupa waktu.

Menjelang petang, Ah Guang baru menyadari bahwa dirinya masih jauh dari rumah.

"Jangan cemas. Naiki saja tongkatku dan kamu akan cepat sampai di rumah", kata Zhongli Quan.

Semula Ah Guang tidak percaya, namun dia tetap mengikuti petunjuk Zhongli Quan.

Ah Guang menaikinya dan dalam sekejap ia melewati awan dengan suara angin yang terdengar di telinganya. Sebentar saja ia telah sampai di rumah.

Begitu diletakkan di tanah, telah tumbuh akar pada bambu itu. Batang bambu itu berubah menjadi pohon bambu emas yang berkilauan. Ketika tertiup angin, pohon bambu itu berubah menjadi rumpun bambu emas.

Ah Guang terkejut melihat hal tersebut, sehingga tanpa disadarinya sisa buah persik yang disimpan dipinggangnya jatuh ke tanah.

Dalam sekejap buah persik itu berubah menjadi lesung emas yang penuh dengan uang dan permata.

Ah Guang tidak tahu harus berbuat apa. Ia berpikir, "Aku suka pada kekuatan diriku sendiri untuk mencari nafkah dan tidak dapat menerima kekayaan yang datang seperti ini."

"Kalau bambu emas berubah menjadi bambu hijau, tentu aku dapat membuatnya menjadi perkakas. Jika lesung emas itu berubah menjadi lesung batu, maka aku dapat menggunakannya untuk menumbuk beras."

Saat itu juga, keduanya berubah. Rumpun bambu emas menjadi rumpun bambu hijau, lesung emas menjadi lesung batu.

Ah Guang menggunakan alu untuk menumbuk beras. Semakin dia menumbuk, semakin banyak beras yang diperoleh.

Ah Guang membagi-bagi beras itu kepada penduduk desa. Setiap kali ia menyendok beras dari lesung, lesung itu langsung penuh lagi. Orang-orang menamakannya sebagai "Lesung yang Selalu Penuh".

Ah Guang memiliki seorang keponakan yang bernama Ah Chong, yang dijuluki si "Tukang Malas". Mendengar kabar tentang lesung ajaib, ia datang menanyakannya.

Dengan polos, Ah Guang menceritakan seluruh pengalamannya.

Si Tukang Malas lalu mencari alasan. "Paman, engkau sudah tua. Biarlah aku yang memikul barang untukmu." Ah Guang kemudian memberikan dua buah keranjang dan sebatang pikulan.

Sambil memikul dua keranjang garam dari kota, Tukang Malas tiba di tempat Zhongli Quan dan Lu Dongbin yang sedang bermain catur, sesuai harapan.

Setelah beberapa lama, Zhongli Quan mengeluarkan buah persik.

Tiba-tiba Zhongli Quan dikejutkan oleh Lu Dongbin, "Skak!", sehingga buah persik yang ada terlempar ke arah Si Tukang Malas.

Setelah memakan buah persik itu, Si Tukang Malas menggenggam biji persik itu erat-erat.

Hal tersebut membuat Zhongli Quan tertawa. Ia memberikan sebatang tongkat bambu dan menyuruh Si Tukang Malas menungganginya.

Setibanya di rumah, tongkat bambu berubah menjadi bambu emas dan biji persik menjadi lesung emas.

Tukang Malas sangat girang, tetapi dia merasa tidak puas dengan lesung yang berukuran kecil itu. Ia ingin agar lesung itu menjadi lebih besar sehingga hartanya lebih banyak.

Tiba-tiba terdengar suara yang keras dan lesung itu lenyap tanpa bekas.

Si Tukang Malas menjadi bingung. Takut apabila bambu emas akan turut lenyap, maka Si Tukang Malas berusaha mencabut bambu itu untuk disembunyikan di dalam rumah.

Namun betapa pun ia mencoba, bambu itu tidak juga tercabut.

Ia memanjat dan melengkungkan pohon bambu itu dengan paksa. Tiba-tiba bambu itu patah.

Si Tukang Malas terlempar kira-kira 10 langkah, lalu jatuh dari punggung Bukit Bambu Emas.

Sejak itu, rumpun bambu dan lesung batu dapat dilihat di Bukit Bambu Emas.

Kuil Guolao

Zhang Guolao berasal dari keluarga miskin dan ia hidup dari mengangkut barang-barang dengan keledainya. Di hari tuanya, Zhang tetap bekerja, melawan angin dan hujan setiap hari. Hidup Zhang sungguh menderita.

Suatu sore, bersama keledainya, Zhang tiba di sebuah kuil tua untuk beristirahat.

Zhang Guolao hanya memiliki sedikit makanan, dan berniat untuk menyimpannya hingga makan malam hari.

Baru saja ia akan melanjutkan perjalanan, tiba-tiba tercium aroma sedap dari dalam kuil.

Orang tua yang lapar itu menghentikan keledainya lalu menambatkannya, dan memutuskan untuk mencari sumber aroma itu.

Ia mengintip dari pintu kuil. Tidak ada orang di dalam kuil, tetapi ada wajan yang penuh masakan. Uap panas keluar dari wajan tersebut. Aroma tersebut ternyata berasal dari makanan yang sedang dimasak di wajan.

Zhang merasa heran, siapa yang memasaknya.

Aroma masakan tersebut sangat lezat.

Zhang Guolao pergi keluar untuk melihat-lihat, tetapi tidak terlihat seorangpun.

Ia mencicipi makanan tersebut dan ternyata rasanya lezat sekali. Ia merasa sangat beruntung.

Zhang Guolao memutuskan untuk menggunakan ranting sebagai sumpit, lalu ia memakan makanan itu.

Sebenarnya ada cerita dibalik makanan dalam wajan tersebut.

Tidak jauh dari kuil itu ada seorang guru eksentrik yang mencoba melatih diri menjadi seorang Dewa melalui latihan-latihan fisik.

Pada suatu hari seorang muridnya memberitahu bahwa ada seorang anak dari tempat yang tidak berpenghuni di dekat sini bermain bersama dirinya setiap hari.

Guru tersebut kegirangan. Ia yakin bahwa anak tersebut adalah roh tanaman shouwu.

Barang siapa yang memakannya akan menjadi Dewa.

Karenanya ia mencari jalan untuk melacak tanaman tersebut dengan menggunakan jarum dan benang merah.

Ia memegang ujung benang yang satu, dan meminta muridnya untuk menempelkan jarum yang terikat dengan ujung benang yang lain pada pakaian anak itu.

Hari berikutnya, anak itu muncul lagi dan bermain-main bersama sang murid.

Murid itu melakukan yang diperintahkan gurunya, memasukkan jarum yang dibawanya ke dalam baju anak kecil tersebut saat anak kecil itu sedang lengah.

Keesokan harinya, sang guru pergi menelusuri benang merah untuk menemukan tempat roh shouwu itu.

Di belakang kuil, dia menemukan tanaman shouwu.

Ia menggalinya.

Muncul sebuah shouwu yang besar sekali.

Sang guru tidak ingin orang lain mengetahuinya, oleh karena itu ia memasak pohon tersebut di dalam kuil untuk ia nikmati sendiri.

Tetapi sang guru lupa membawa peralatan makan, mangkuk dan sumpit, sehingga ia pulang ke rumah.

Dalam perjalanan pulang ke rumah, ia berpapasan dengan seorang temannya yang mengundang dirinya ke rumah sang teman untuk menuliskan syair-syair bagi upacara pernikahan.

Setelah menulis syair, temannya menjamu minum arak.

Sementara itu di kuil, Zhang Guolao sedang menikmati hidangannya.

Makanan yang dimakan sangat menyegarkan.

Karena makanan sangat banyak, Zhang Guolao tidak dapat menghabiskannya.

Keledainya mulai menendang-nendang dan meringkik, Zhang baru sadar bahwa keledainya juga sudah lapar.

Ia pun memberikan sebagian makanan tersebut.

Setelah keledainya selesai makan, ia membuang sisanya ke tembok.

Pada saat Zhang akan berangkat, ia melihat seorang laki-laki yang berjalan terburu-buru ke arahnya dengan marah-marah.

Zhang ketakutan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Zhang Guolao segera menaiki keledainya dan melarikannya.

Pada saat berlari, tiba-tiba sang keledai naik ke udara dan mulai terbang. Semakin lama keledai itu terbang semakin tinggi dan Zhang berada tinggi di angkasa meninggalkan guru itu.

Tembok kuil yang disiram sisa makanan menjadi keras seperti besi dan berdiri dengan megahnya.

Tangkai-tangkai yang dipakai Zhang sebagai sumpit, tumbuh menjadi sepasang pohon yang tinggi dan dikenal sebagai "Pohon Guolao".

Orang-orang lalu membangun kembali kuil itu dan menamakannya "Kuil Guolao".


Zhang Guolao dan Keledai Kertas

Dalam pengembaraannya, Zhang Guolao mengendarai seekor keledai sambil menghadap ke belakang.

Keledai itu tidak perlu diberi makan atau minum. Jika malam tiba, keledai itu berubah menjadi keledai kertas. Esok harinya, keledai itu akan muncul lagi.

Keledai itu semula adalah seekor keledai biasa.

Pada suatu hari, saat Zhang sedang mengembara dan menuju Gunung Hua, Huashan, di tengah perjalanan badai turun dengan lebatnya.

Zhang tidak mau memakai topi atau payung, tetapi badannya tidak basah sedikit pun, padahal ia telah berjalan 4 mil.

Pada saat tiba di Lembah Persik, yang berada di sebelah barat Huashan, ia melihat sebuah kuil.

Zhang pernah mendengar bahwa kuil tersebut sangat berisik karena terlalu banyak penghuninya. Oleh karena itu, Zhang memilih tinggal di sebuah gua di kaki gunung.

Ketika matahari terbenam, Zhang Guolao mulai merasa lapar. Dari kejauhan terdengar suara lonceng tanda makan malam di kuil.

Zhang lalu pergi ke kuil untuk makan malam.

Kepala kuil menyambut Zhang dan mempersilahkan Zhang menyantap hidangan.

Zhang Guolao makan enam mangkok makanan dengan lahapnya.

Dengan maksud menguji para pendeta, setelah selesai makan, Zhang langsung pergi tanpa mengucapkan terima kasih.

Zhang selalu muncul pada saat makan tiba. Selalu makan banyak dan langsung pergi setelah selesai makan.

Lama kelamaan, para pendeta muda mulai tidak menyukai kehadiran tamu itu.

Mereka membuat rencana menghadapi Zhang dengan tidak akan membunyikan lonceng pada waktu makan malam, melainkan memukul ikan-kayu sebagai gantinya.

Namun siasat itu tidak berhasil, Zhang Guolao tetap saja muncul untuk makan lalu pergi begitu saja.

Para pendeta muda tidak mau lagi menerima kedatangan Zhang dan bermaksud menyingkirkan Zhang dari Lembah Persik, sehingga membuat sebuah rencana jahat.

Pada suatu hari Zhang Guolao datang seperti biasa untuk makan. Sesudah makan ia berbincang-bincang dengan kepala kuil mengenai Kitab Suci.

Tanpa sepengetahuan kepala kuil, para pendeta muda pergi ke belakang kuil dan membunuh keledai milik Zhang.

Mereka juga membongkar jembatan yang dipakai Zhang Guolao untuk menyeberang ke kuil.

Setelah Zhang memohon diri kepada kepala kuil, ia melihat keledainya telah dibunuh.

Zhang sama sekali tidak marah, bahkan tersenyum ke arah para pendeta muda yang sedang bersembunyi.

Ia menepuk kepala keledainya dan berkata, "Bangun!" Keledai itu pun hidup lagi.

Kemudian Zhang menunggangi keledainya, dan pada saat tiba di sungai dilihatnya jembatan sudah tidak ada lagi.

Zhang melempar tabung bambunya ke sungai dan berseru, "Tumbuh!" Dalam sekejap saja tabung bambu itu berubah menjadi sebuah jembatan dan Zhang Guolao menyeberang dengan keledainya.

Para pendeta muda sangat terkejut dan malu atas apa yang telah mereka lakukan.

Mereka mengaku salah dan memohon agar Zhang bersedia mengampuni mereka.

Zhang menjawab sambil tersenyum, "Bertobat itu sangat bijaksana."

Setelah tiba di gua, Zhang, yang telah menganggap keledainya telah mati, memotong-motong kulit keledainya menjadi potongan-potongan kecil dan menaburkannya ke tanah. Tidak lama kemudian tumbuh tunas tanaman yang disebut sebagai tanaman daging-keledai.

Zhang kemudian menggambar seekor keledai di sehelai kertas. Setelah digunting, Zhang meniup guntingan tersebut, jadilah seekor keledai.

Sejak saat itu, keledai kertas itu menjadi binatang tunggangan Zhang Guolao.


Lu Dongbin Mencapai Keabadian

Lu Dongbin lahir pada masa Dinasti Tang. Ayah dan kakeknya adalah pegawai pengadilan.

Lu Dongbin sejak kecil sangat pandai. Dengan mudahnya ia mengingat dan menceritakan kembali ajaran-ajaran Confucius. Pada saat berada di Gunung Lushan, Lu bertemu dengan Pendekar Naga Api yang mengajarkan ilmu pedang tingkat lanjutan.

Dua kali mengikuti ujian kenegaraan di ibukota, Changan, namun tidak satu pun yang memberikan hasil.

Pada umurnya yang telah berkepala empat, Lu sangat sedih dan putus asa atas hidupnya.

Suatu hari, Lu sedang minum-minum sendirian pada sebuah kedai arak, datanglah Zhongli Quan.

Zhongli Quan bertanya kepada Lu Dongbin apakah boleh duduk satu meja dengannya.

"Silahkan", jawab Lu.

Zhongli Quan bertanya kenapa Lu terlihat begitu murung dan putus asa.

Demi mengetahui ada orang yang bersedia mendengar segala kesedihannya, Lu Dongbin menceritakan semua permasalahan dan kekecewaan yang dialaminya kepada Zhongli Quan tanpa tersisa.

Di tengah kesedihan, Lu minum dengan sangat kuat, sehingga akhirnya mabuk dan tertidur.

Zhongli Quan membawa Lu ke gubuknya.

Zhongli Quan memasak gandum sementara Lu masih tertidur.

Dalam tidurnya, Lu bermimpi.

Lu dapat lulus dari ujian kenegaraan dan menjadi sarjana. Pangkat dan jabatan yang dipegangnya terus naik dengan pesat. Ia juga hidup senang dan bahagia bersama keluarganya.

Akhirnya Lu menjadi seorang perdana menteri selama beberapa tahun.

Pada suatu hari Lu menyinggung perasaan kaisar baru yang takut akan pengaruh Lu. Seluruh keluarga Lu dihukum mati, dan dirinya diasingkan dalam keadaan yang sangat menyedihkan.

Ditengah ketakutan dan kecemasan, Lu terbangun.

Sambil tersenyum, Zhongli Quan mengatakan kepada Lu bahwa mimpi yang dialami selesai sebelum gandum yang dimasaknya matang.

Lu heran dan bertanya bagaimana Zhongli Quan dapat tahu bahwa dirinya bermimpi.

Zhongli Quan memberi nasihat, "Kebahagiaan terbesar dalam hidup adalah menjadi satu dengan Tao, dan kesengsaraan terbesar adalah menerima terlalu banyak dan kemudian susah untuk melepaskannya."

Lu sangat kagum, dan memohon agar Zhongli Quan menerima dirinya sebagai murid.

Zhongli Quan berkata bahwa Lu harus melewati ujian-ujian berat dahulu.

Suatu hari, seluruh keluarga Lu meninggal dunia. Lu tidak patah semangat, yang dilakukan adalah mengatur penguburan bagi seluruh keluarganya dengan baik. Setelah lulus ujian, seluruh keluarganya hidup kembali.

Suatu hari Lu bertemu dengan seorang penganut Tao yang menjajakan pil "Pasti Mati". Siapa saja yang memakan pil tersebut pasti akan meninggal dunia, tetapi dapat belajar Tao pada kehidupan selanjutnya. Tidak ada seorangpun yang membelinya. Lu memakan pil tersebut.

Suatu saat, setelah ada kesepakatan dengan seorang pedagang, orang itu mengingkari kata-katanya. Tanpa membantah, Lu langsung membayarnya.

Pada kejadian lain, Lu menghampiri seorang pengemis dan memberinya barang berharga. Bukannya mengucapkan terima kasih, sang pengemis memaki Lu Dongbin. Lu memaafkan kejadian yang menyakitkan itu.

Saat Lu membeli sebuah bejana kuningan, Lu baru sadar pada saat sampai di rumah bahwa bejana yang dibawanya adalah bejana emas. Lu mengembalikan bejana tersebut kepada penjualnya.

Di lain hari, Lu menghalangi seekor harimau besar yang akan menerkam sekawanan domba dan melindungi mereka dengan badannya. Akhirnya, harimau itu pergi.

Pada suatu musim semi, Lu Dongbin sedang melintasi sebuah sungai bersama-sama para penduduk. Secara tiba-tiba arus sungai menjadi sangat deras, Lu tetap melintasi sungai dengan tenang.

Ketika Lu sedang mencangkul, dia menemukan banyak koin emas. Mengetahui hal itu, Lu tidak mengambil koin emas tersebut, melainkan menutup lubang yang telah digalinya.

Lu pergi untuk hidup menyendiri di gunung, dan suatu hari muncul seorang gadis cantik. Sang gadis memohon agar Lu bersedia tidur dengannya. Lu menolak.

Saat Lu sendiri di rumah, banyak bayangan roh jahat muncul menyerangnya. Lu tidak takut sama sekali.

Hari yang lain, muncul mahluk-mahluk mengerikan yang menuntut bahwa mereka dibunuh oleh Lu pada kehidupan sebelumnya dan ingin balas dendam. Lu tidak gentar.

Tiba-tiba terdengar teriakan, dan semua hantu lenyap.

Zhongli Quan muncul dan menerima Lu sebagai muridnya.

Lu Dongbin berlatih Tao untuk waktu yang lama dan akhirnya menjadi Dewa.


Pagoda Bangau Kuning

Di Gunung Ular, yang bersebelahan dengan sebuah sungai di Wuchang, tinggallah seorang janda baik hati dan rajin bekerja yang memiliki sebuah kedai arak kecil, Zhang namanya. Dia memiliki seorang anak laki-laki berumur 5 tahun.

Karena jauh dari keramaian, tidak ada satu orang pun yang datang membeli araknya sejak tiga hari kedai tersebut dibuka.

Pada senja hari, ketika pemilik kedai itu sedang cemas, datanglah seorang pendeta Tao yang sudah tua.

Pendeta itu memesan satu guci arak dan dalam sekejap meminumnya hingga habis. Ketika Zhang akan meminta bayaran, dilihatnya sang tamu sedang mabuk dan tertidur di lantai.

Karena merasa kasihan dan takut sang tamu masuk angin, Zhang menutupi sang tamu dengan selimut dan memberinya bantal.

Ketika pendeta itu bangun keesokan harinya, Zhang meminta bayaran, namun pendeta tersebut mengatakan bahwa dirinya ingin minum arak lagi karena arak di kedai Zhang memiliki mutu yang baik.

Janda tersebut memberinya satu guci arak yang langsung diminum oleh sang pendeta dalam sekejap. Dalam mabuknya, sang pendeta tertidur lagi.

Pada hari ke-3, sang pendeta meminum satu guci arak lagi. Seperti hari-hari sebelumnya, dia mabuk lagi dan tertidur di kedai tersebut.

Karena sang pendeta adalah satu-satunya tamu dan perdagangan sedang sepi, Zhang tidak merisaukan perbuatan pendeta itu.

Pada hari ke-4 Zhang meminta tamunya menyelesaikan pembayaran, namun sang tamu menjawab bahwa dirinya tidak memiliki uang satu keping pun.

Zhang merasa kasihan kepada sang pendeta dan membiarkannya pergi.

Namun sang pendeta merasa tidak enak dan mengatakan bahwa dirinya mahir melukis. Lalu dilukisnya dua ekor bangau kuning di dinding kedai sebagai bayaran.

Kemudian sang pendeta mengeluarkan sebatang seruling dan meniupnya sambil menghadap gambar bangau. Tiba-tiba burung-burung bangau tersebut menjadi hidup dan mulai menari mengikuti irama seruling.

Kabar kejadian tersebut langsung tersiar dengan cepat ke seluruh penduduk di kaki Gunung Ular. Banyak orang berdatangan ke kedai Zhang untuk melihat bangau menari sehingga usaha dagang Zhang menjadi maju.

Sang pendeta ternyata adalah Lu Dongbin. Pada saat Lu sedang melakukan pengembaraan disekitar Gunung Ular, dilihatnya kedai arak Zhang yang sepi pengunjung. Karena dia mengetahui bahwa Zhang adalah seorang yang baik hati dan rajin bekerja, maka Lu berniat menolong Zhang.

Setelah usaha kedai Zhang lancar, Lu memberikan serulingnya kepada Zhang. Kemudian Lu pergi melanjutkan pengembaraannya.

Ketika hakim daerah mendengar kejadian "bangau menari" tersebut, ia pun datang bersama pengikut-pengikutnya.

Ketika Zhang memainkan serulingnya, kedua bangau di dinding turun dan mulai menari dengan indahnya.

Sesampainya di rumah, hakim yang serakah itu ingin memiliki gambar ajaib Zhang. Penasihat hukum sang hakim mengusulkan sebuah rencana jahat.

Pada keesokan harinya, penasihat hukum sang hakim datang ke kedai Zhang bersama beberapa pegawai pengadilan dan seorang pemahat. Ia meminta Zhang membayar pajak sebesar 100 tail perak.

Karena sang janda tidak dapat membayar pajak sebesar itu, penasihat tersebut menyuruh sang pemahat mengambil gambar bangau di dinding dan seruling Zhang sebagai penggantinya.

Hakim menyuruh sang pemahat memasang gambar bangau itu di dinding dalam ruang tengahnya.

Lalu sang hakim mengundang para pejabat dan orang-orang tingkat atas untuk menyaksikan bangau menari. Meskipun telah berulang-ulang sang penasihat hukum memainkan seruling, tetapi gambar burung di dinding tetaplah gambar burung di dinding.

Dengan penuh kemarahan, sang hakim memerintahkan orang-orangnya membawa Zhang ke rumahnya untuk bermain seruling.

Dengan air mata berlinang, Zhang mematuhi perintah sang hakim. Namun gambar bangau tetap gambar bangau.

Hakim menuduh Zhang sengaja melawan perintah, lalu memerintahkan petugas pengadilan menyiksa Zhang.

Tiba-tiba seorang berseru dari luar rumah, "Hentikan!"

Orang itu dengan tenangnya masuk ke dalam rumah sang hakim, ternyata dia adalah Lu Dongbin.

Sang tamu yang tidak diundang meminta sang hakim melepaskan Zhang dan mengatakan bahwa dirinya dapat membuat bangau-bangau itu menari.

Setelah sang hakim mengetahui bahwa tamu yang datang adalah pendeta Tao yang melukis bangau-bangau tersebut, ia melepaskan Zhang.

Ketika Lu memainkan serulingnya, bangau-bangau di dinding melompat dan mulai menari.

Hakim dan tamu-tamunya sangat gembira menyaksikan hal tersebut.

Lu lalu menunggangi salah satu bangau dan ikut menari.

Ketika para penonton sedang bersorak-sorak dengan gembira, kedua bangau itu memekik dengan keras dan langsung terbang ke angkasa membawa Lu.

Para penonton terkejut dan tidak dapat berbuat apa-apa. Ketika sang hakim melihat dinding, ternyata hanya merupakan dinding kosong.

Untuk memperingati Lu Dongbin, orang-orang kemudian membangun sebuah pagoda di dekat kedai arak Zhang. Pagoda itu diberi nama "Pagoda Bangau Kuning".

Li Tieguai Bertobat

Li Tieguai memiliki nama asli Li Xuan dan hidup pada masa Dinasti Sui.

Meskipun merupakan keluarga miskin, keluarga Li adalah keluarga yang bahagia.

Suatu saat terjadi kemarau panjang, sehingga membuat panen gagal. Karena panen terus menerus gagal, maka keluarga Li mulai kekurangan bahan makanan.

Dalam keputusasaan, ayah Li bunuh diri dan meninggalkan Li bersama ibunya dalam kesusahan. Sang ibu menjadi buta karena terlalu banyak menangis.

Li Tieguai merasa tidak berdaya dan tidak memiliki kemampuan apa-apa, sehingga jalan satu-satunya yang dapat dilakukan hanyalah mengemis.

Suatu hari saat ia sedang mengemis, Li melihat sekeranjang wortel tertinggal di luar rumah seseorang. Li memutuskan untuk mengambil sebagian dari wortel tersebut, dan ia beruntung karena tidak ada yang mengetahui.

Lama kelamaan mencuri menjadi kebiasaan Li.

Sehingga suatu hari Li Tieguai tertangkap basah.

Orang-orang mulai melihat dengan pandangan curiga terhadap Li, dan saudara-saudaranya menutup pintu setiap Li datang.

Suatu malam, Li menyelinap masuk ke rumah orang dan mencuri wajan di rumah tersebut.

Pada saat ia sedang berlari, tiba-tiba muncul satu sosok orang tua yang menghalangi.

Li melempar wajan itu dan mencoba melarikan diri, namun kalah tangkas sehingga berhasil ditangkap.

Li memohon ampun kepada orang tersebut dan mengatakan bahwa hidupnya sangat susah dan terpaksa mencuri.

Orang tua itu memberi nasehat kepada Li bahwa meskipun dirinya miskin, namun masih memiliki wajan yang bisa digunakan untuk memasak, sedangkan bila Li mencuri wajan dari rumah orang maka mereka tidak dapat memasak.

Orang itu juga menasehati Li agar merubah sifatnya dan meninggalkan kebiasaan mencuri.

Li Tieguai akhirnya tersadar atas segala perbuatan jahat yang dilakukannya, dan bertobat.

Orang tua itu menyuruh Li mengembalikan wajan tersebut, dan setelah itu Li menemui orang tua itu lagi yang masih menunggu di tempat semula.

Li memohon agar orang tua itu bersedia menunjukkan jalan kebenaran dan membimbingnya.

Orang tua itu memberi Li sebuah labu obat dan berkata bahwa labu itu adalah labu ajaib, obat di dalam labu tersebut dapat digunakan untuk menyembuhkan berbagai macam penyakit. Orang tua itu menganjurkan agar Li bersedia menolong orang-orang dengan labu tersebut.

Lalu orang tua itu pun lenyap.

Sejak saat itu Li Tieguai selalu membawa labunya untuk membantu menyembuhkan orang sakit.

Akhirnya, Li mulai mendalami Tao.

Suatu hari, Lao Zi / Lao Tze ( ) dan Guru Wan Qiu datang dan membimbing Li untuk mencapai ajaran Tao yang tertinggi.


Jembatan Tempat Melihat Dewa

Pada suatu ketika, wabah penyakit melanda Hangzhou. Banyak orang menderita luka aneh yang menimbulkan rasa nyeri di sekujur tubuh, dan tidak ada satu obat pun yang berhasil menyembuhkan penyakit tersebut.

Para penduduk mencari pengobatan ke merata tempat, para tabib dan toko obat, namun tiada hasil. Sebaliknya, toko-toko obat memanfaatkan kesempatan tersebut dan memperoleh keuntungan besar.

Kebetulan Li Tieguai mengetahui wabah tersebut. Li kemudian menjelma sebagai seorang tabib yang pincang dan pergi ke Hangzhou sambil menggendong sebuah labu di punggungnya.

Sambil memegang payung besar, ia memajang sebuah kotak obat tua yang sudah rusak di dekat sebuah jembatan di Gulou. Dalam kotak obat tua tersebut terdapat obat yang dibuat Li untuk menyembuhkan wabah yang sedang melanda, dan diberikan secara cuma-cuma.

Karena tampak miskin, orang-orang kaya tidak ada yang bersedia meminta pertolongan Li.

Ada seorang laki-laki miskin yang menderita luka aneh itu pada kakinya datang ke "Tabib Li" untuk menghemat uang.

Setelah menggunakan obat dari Li, luka aneh laki-laki tersebut hilang secara berangsur-angsur dan dalam waktu tiga hari sudah sembuh.

Kabar obat ini segera tersebar luas. Pada mulanya hanya orang-orang miskin yang datang meminta pertolongan, dan Li terus memberikan obat tersebut secara gratis.

Kemudian orang-orang kaya mulai berdatangan. Li menetapkan harga 10 tail perak bagi mereka.

Semua orang yang memakai obat itu, baik orang miskin maupun orang kaya, dapat sembuh dari penyakit.

Kepandaian Li menggemparkan Hangzhou, dan Li mendapat gelar "Sai Huatuo".

Sayangnya para pedagang obat di Hangzhou merasa iri dan tidak suka atas keberhasilan Li. Mereka bersekongkol untuk mengusir Li.

Para pedagang obat mengumpulkan uang hingga 1000 tail perak dan memberikan uang tersebut kepada hakim di Hangzhou yang korup. Bersamaan dengan pemberian uang tersebut, para pedagang mengajukan tuntutan palsu dengan menuduh Li menjual obat palsu untuk memperdayakan penduduk dan mencari keuntungan sebesar mungkin.

Hakim yang telah menerima uang sogokan segera memberi perintah kepada petugas pengadilan untuk menangkap Li.

Di pengadilan Li tidak bersedia berlutut. Sambil memukul meja dengan balok kayu, hakim itu berkata, "Mengapa kamu tidak mau berlutut di hadapan hakim?"

"Tuanku, hamba adalah orang yang pincang. Lututku sakit. Seumur hidupku aku belum pernah berlutut", jawab Li.

Hakim marah dan berteriak, "Siapa namamu dan dari mana asalmu?"

"Hamba tidak mempunyai nama. Orang-orang menamakan hamba Sai Huatuo. Hamba datang dari tempat asal hamba", jawab Li.

"Kalau memang engkau sangat pandai hingga bergelar Sai Huatuo, mengapa engkau tidak dapat menyembuhkan kakimu yang cacat tersebut?", desak sang hakim.

Pada saat itu ada yang merayap di punggung sang hakim dan terasa sangat gatal.

Li menjelaskan, "Banyak orang dengan masing-masing pekerjaannya dapat menolong orang lain, tetapi tidak dapat menolong dirinya sendiri. Mengapa buruh bangunan harus tinggal di rumah kumuh dengan atap yang bocor?"

"Mengapa petani kelaparan? Mengapa engkau tidak menanyakan tentang hal-hal tersebut?", tanya Li lagi. Sang hakim hanya bisa membisu.

Pada saat sidang ditutup, sang hakim memberi perintah agar Li dikurung di barisan kematian.

Rasa gatal di punggung sang hakim semakin menjadi, dan terlihat ada benjolan kecil. Tidak lama kemudian benjolan tersebut menjadi luka yang aneh.

Penasihat hukum sang hakim memberikan usul agar sang hakim meminta bantuan Li untuk menyembuhkan lukanya, setelah itu baru dijatuhi hukuman mati.

Setelah memeriksa luka sang hakim, Li memberikan obatnya.

Satu malam berlalu, namun luka sang hakim bukan semakin membaik, bahkan menjadi semakin besar.

"Luka itu bernama 'Luka Menusuk Hati'. Kau terkena penyakit ini karena dirimu adalah seorang pejabat yang korup. Aku tidak bisa menolongmu", Li menjelaskan.

Hakim berteriak dengan marah, "Ikat dia dan penggal kepalanya!".

Rasa nyeri yang diderita sang hakim semakin parah dan pada akhirnya dia meninggal karena penyakit tersebut.

Sesuai dengan perintah hakim, Li dibawa ke tempat hukuman mati.

Ketika para petugas pengadilan melintasi jembatan tempat dimana Li menjajakan obatnya, orang-orang menghadang di tengah jalan.

Li berkata, "Saudara-saudara, karena hakim ingin mengirimku ke langit, maka aku terpaksa harus pergi sekarang."

Sambil berkata demikian, Li menjatuhkan diri ke sungai. Dalam sekejap mata muncul sekumpulan awan dari sungai itu dan mengangkat tubuh Li.

Awan itu naik perlahan ke angkasa. Li mengangguk-angguk dan melambaikan tangan kepada orang-orang dari atas awan.

Sejak saat itu, jembatan tersebut dinamakan "Jembatan Tempat Melihat Dewa".

Cao Guojiu, Sang Paman Kaisar

Nama asli Cao Guojiu adalah Cao Yi. Ia memiliki saudara perempuan yang merupakan ibu dari kaisar, sehingga dirinya dikenal sebagai Guojiu (paman kaisar).

Cao Guojiu dan kedua kakaknya adalah orang yang suka menindas yang lemah dan mempermainkan yang tidak berdaya. Memiliki kesenangan berburu yang hanya untuk mencari kegembiraan dan mengisi waktu luang. Setelah berburu, mereka akan berpesta pora.

Pada suatu hari seorang pedagang permata dan istrinya sedang melewati tempat dimana Cap Guojiu sedang berpesta pora.

Cao Guojiu berpura-pura ramah terhadap mereka dan mengundang mereka untuk minum sambil melepas lelah.

Mereka menerima saran tersebut.

Namun ditengah keasyikan minum, tiba-tiba kepala mereka pusing, kemudian mereka pingsan.

Ternyata Cao Guojiu telah memasukkan racun ke dalam minuman mereka dengan tujuan agar dia dapat merampas barang-barang berharga milik sang pedagang permata.

Saat mereka akan mengambil barang-barang berharga itu, tiba-tiba angin puyuh datang. Debu dan daun berterbangan tanpa arah dan menghalangi pandangan.

Ketika angin berhenti, para korban dan semua barangnya telah hilang.

Mengetahui hal itu, mereka ketakutan setengah mati dan berlari tunggang langgang.

Pada malam harinya, Cao Guojiu bermimpi. Sebuah mimpi buruk dimana banyak setan menuntut balas dan menginginkan nyawanya. Di tengah kepanikan, muncul seorang penganut Tao, semua setan langsung hilang. "Bertobatlah sebelum terlambat", kata penganut Tao itu.

Sejak saat itu, Cao Guojiu memutuskan untuk memperbaiki diri.

Cao Guojiu mendirikan rumah obat dan yang miskin tidak perlu membayar.

Bila terjadi kelaparan, ia menyediakan makanan gratis.

Ia juga membuat rumah amal untuk mereka yang tidak punya tempat tinggal.

Kedua kakaknya sangat tidak senang dengan perubahan sifat Cao Guojiu, dan merencanakan sebuah rencana jahat.

Pada suatu pagi, semua penghuni rumah amal telah diracuni dan Cao Guojiu sangat terpukul dengan kematian mereka.

Setelah diselidiki, Cao Guojiu mengetahui bahwa penyebab permasalahan adalah kedua kakaknya. Tanpa ragu-ragu, Cao menangkap mereka untuk dihukum mati.

Cao Guojiu berkelana untuk belajar Tao.

Ketika Lu Dongbin melihat bahwa Cao Guojiu telah sungguh-sungguh bertobat, ia membantu Cao untuk mendalami Tao sehingga akhirnya Cao Guojiu dapat menjadi seorang Dewa.


Cao Guojiu dan Saudagar Kain

Pada suatu hari Cao Guojiu berkelana ke Bianliang, Propinsi Hebei. Cao tiba di sebuah dermaga Sungai Kuning. Bersamaan dengan dirinya, terdapat seorang saudagar kain dan seorang pembuat sapu yang berniat naik perahu.

Saudagar kain membawa tiga kotak barang. Pembuat sapu membawa satu kotak barang, sedangkan Cao Guojiu tidak membawa apa-apa.

Tukang perahu mengenakan biaya sebesar 30 keping kepada masing-masing penumpangnya. Namun karena saudagar kain membawa barang bawaan yang banyak, maka dikenakan biaya tambahan 30 keping.

Saudagar kain adalah seorang yang kikir. Dia bersikeras agar semua penumpang membayar biaya yang sama dengan dirinya.

Sambil menunjuk Cao Guojiu, pembuat sapu berkata, "Penumpang ini tidak membawa barang dagangan sedikitpun, maka biarlah ongkosnya dibagi antara kita berdua."

Tetapi saudagar kain tetap bersikukuh dengan pendiriannya.

Karena tidak ingin perdebatan berlangsung lebih lama, Cao Guojiu membayar sebanyak 60 keping kepada tukang perahu.

Pembuat sapu yang merasa iba atas kemurahan hati Cao Guojiu, memaksa mengembalikan 20 keping kepada Cao Guojiu. Sedangkan saudagar kain diam saja, dia merasa puas bisa menyimpan sedikit uang.

Kekikiran saudagar kain membuat Cao Guojiu ingin memberikan sebuah pelajaran.

Saat perahu berada di tengah sungai, Cao Guojiu meniup ke arah barat laut. Dalam sekejap turunlah badai.

Perahu itu berputar-putar di tengah sungai dalam amukan gelombang.

Tukang perahu sangat terkejut dengan perubahan yang ada karena sebelumnya cuaca sangat bagus.

Gelombang terus menghantam dan mempermainkan perahu di tengah sungai. Lama kelamaan perahu kecil tersebut tidak mampu bertahan lagi.

Melihat keadaan berbahaya tersebut, tukang perahu meminta agar kedua penumpang membuang semua barang bawaannya.

Tanpa diminta kedua kali, pembuat sapu langsung melemparkan barang-barangnya ke sungai.

Namun saudagar kain tidak bersedia kehilangan barang bawaannya, bahkan tidak seorang pun diperkenankan menyentuh barang-barang tersebut.

Tukang perahu sudah berusaha semaksimal mungkin, tetapi perahu tetap terguncang keras dan hampir terbalik.

Ombak semakin mengganas. Perahu yang sudah hampir penuh terisi air mulai tenggelam.

Dalam kepanikannya tukang perahu berkata kepada saudagar kain, "Apabila engkau tidak bersedia melemparkan barang-barangmu maka aku akan menyelamatkan diriku sendiri dengan melompat ke sungai."

Saudagar kain tetap tidak bersedia, sehingga tukang perahu memutuskan untuk terjun.

Apabila tukang perahu meninggalkan perahu, maka semua penumpang dan barang bawaannya akan celaka. Maka disaat-saat terakhir, dengan terpaksa, saudagar kain membuang barang-barangnya ke sungai.

Karena beban berkurang, perahu tersebut dapat bertahan di tengah badai, yang semakin lama semakin reda, dan akhirnya terdampar di tempat yang dangkal.

Setelah badai reda, ke empat orang tersebut tidak dapat naik ke darat karena perahu berada jauh dari tepi sungai.

Tukang perahu kebingungan dan sibuk mencari akal.

Cao Guojiu meminta tukang perahu meminjamkan sebuah dayung kepada dirinya. Cao Guojiu lalu melemparkan bambu itu ke tepi sungai. Dayung tersebut segera berubah menjadi jembatan dan mereka selamat sampai di darat.

Ketika semuanya sudah naik ke darat, tukang perahu dan pembuat sapu mengucapkan banyak terima kasih kepada Cao yang telah menyelamatkan diri mereka.

Cao Guojiu berkata kepada pembuat sapu, "Angkatlah barang-barangmu!"

"Barang apa? Bukankah engkau melihat sendiri pada waktu aku melempar semua barang-barangku di tengah sungai tadi?", tukas pembuat sapu.

Cao Guojiu menunjuk dan berkata, "Bukankah itu barang-barangmu?"

Ternyata barang-barang pembuat sapu tertata dengan rapi di tepi sungai dan tidak ada yang rusak.

Pembuat sapu tidak mengira bahwa Cao Guojiu adalah seorang Dewa, maka ia pun berlutut berterima kasih.

Mengetahui hal ini, saudagar kain berlutut kepada Cao Guojiu dan memohon agar dia dapat memperoleh kembali barang-barangnya.

Cao Guojiu berkata, "Dengarlah nasihatku. Jangan kikir. Keuntungan kecil akan menimbulkan kerugian besar."

Lalu Cao Guojiu pergi.

Cao Guojiu Menghukum Tong Shanren

Pada saat Cao Guojiu sedang berkelana menuju ibukota negara, ia sangat terkejut ketika tiba di pinggir kota.

Cao Guojiu melihat banyak rakyat terkena bencana, banyak yang meninggal karena kelaparan dan kedinginan.

Dari keterangan yang berhasil dihimpun, Cao Guojiu akhirnya mengetahui bahwa terdapat seorang kaya raya yang menindas rakyat dengan kejam. Menghancurkan banyak lahan pertanian dan membunuh orang dengan semena-mena. Orang kaya tersebut bernama Tong Shanren, dan Cao Guojiu telah mengenal Tong Shanren.

Demi melihat penderitaan yang berat bagi rakyat, Cao Guojiu memutuskan untuk memberi pelajaran kepada orang kaya kejam tersebut.

Cao Guojiu pun pergi ke rumah Tong berpura-pura sebagai orang miskin yang meminta sedekah. Penjaga pintu tidak mau memberi dan mengusir Cao Guojiu.

Ketika Cao Guojiu diusir pergi, seorang Cao Guojiu muncul lagi. Kejadian ini terjadi terus menerus.

Di tengah keheranan, sang penjaga pintu melaporkan kejadian itu kepada majikannya. Tong Shanren heran pada saat dia mengetahui bahwa yang datang adalah Cao Guojiu.

Tong Shanren memberi hormat dan mengundang Cao Guojiu untuk minum. Tong Shanren mengungkapkan ide dan membujuk Cao Guojiu agar dirinya dapat bersekongkol dengan Cao Guojiu untuk mendapatkan kedudukan dalam pemerintahan dan memperoleh kekayaan yang banyak. Cao Guojiu hanya tersenyum.

Cao Guojiu menikmati jamuan yang diadakan Tong Shanren. Pada saat sedang minum-minum, Tong Shanren bertanya kepada Cao Guojiu, "Kenapa engkau meninggalkan jabatan dan kekayaan lalu mengemis?"

"Aku telah menjadi Dewa di Gunung Fenlai", jawab Cao Guojiu.

Tong Shanren meminta agar Cao Guojiu bersedia mengajarkan ilmu dewanya agar ia bisa mendapatkan jabatan dalam pemerintahan, menjadi kaya raya dan hidup senang.

Cao Guojiu memberitahu bahwa dia memiliki sebuah ilmu yang dapat membuat Tong Shanren menjadi kaya raya.

Cao Guojiu menyuruh Tong Shanren menggali sebuah lubang sedalam satu meter dan selebar satu meter di dalam rumah.

Lalu Cao Guojiu melempar sekeping uang ke dalam lubang dan berkata, "Engkau dapat terus mengambil uang dari lubang itu".

Tong Shanren tidak mempercayai hal itu, sehingga Cao Guojiu berbaring di lantai dan memasukkan tangannya ke dalam lubang untuk memungut uang. Tiba-tiba satu keping uang muncul lagi di dalam lubang.

Sesudah mengumpulkan hingga 10 keping, ternyata di dalam lubang masih tetap muncul satu keping uang. Tong Shanren sangat kagum dan hampir tidak mempercayai apa yang sedang terjadi.

Tong Shanren berkata dengan gembira, "Jika aku terus mengambil uang dari lubang itu siang dan malam, maka aku akan memperoleh uang banyak sekali".

Cao membiarkan Tong Shanren terus mengambil uang dari dalam lubang, sementara dirinya beristirahat.

Ibu Tong Shanren yang mengetahui hal itu datang untuk menyaksikan sendiri. Dan akhirnya dia juga turut mengambil uang dari lubang tersebut.

Pada saat mengambil uang, ibu Tong Shanren secara tidak sengaja terjatuh ke dalam lubang.

Tong Shanren segera menarik ibunya yang sedang memegang sekeping uang keluar dari lubang.

Ketika Tong Shanren berhasil menarik ibunya keluar, secara tiba-tiba muncul seorang ibu yang sama di dalam lubang. Wanita itu juga memegang sekeping uang.

Tong Sharen segera menyuruh pelayannya menarik ibu itu keluar, tetapi terus muncul lagi seorang ibu yang sama setiap saat dia berhasil menarik seorang ibu keluar.

Kejadian itu terus berlangsung hingga ibunya berjumlah banyak.

Beberapa ibu memanggilnya, "Shanren", sedangkan ibu yang lain memanggil, "Anakku". Tong Shanren bingung dan tidak tahu mana ibunya yang asli.

Akhirnya Tong Sharen meminta Cao Guojiu memberitahu mana ibunya yang sejati.

Cao menjelaskan, "Lubang ini adalah lubang harta karun, seperti uang itu, ibu-ibu itu akan terus muncul setiap kali kamu menarik seorang ibu keluar lubang".

"Anakku, tariklah aku segera", kata seorang ibu di dalam lubang.

Tong Shanren dengan terpaksa menyuruh pelayannya menarik ibu itu dan juga ibu-ibu yang terus keluar, hingga akhirnya terdapat 100 orang ibu.

Semua ibu-ibu memegang satu keping uang, dan Tong Shanren mulai bingung bagaimana ia akan membiayai ibunya yang berjumlah 100 orang itu.

Cao Guojiu memberi nasihat, "Bila engkau tidak mau lagi ada ibu yang keluar dari dalam lubang itu, maka kamu harus meminta bantuan Dewa dan harus bersedia memenuhi segala syarat yang diajukan".

Tong Shanren setuju.

Cao Guojiu lalu membaca doa dan tidak beberapa lama datanglah sekelompok Dewa, mereka berkata, "Kamu harus membebaskan petani dari pajak jika ingin tidak ada ibu yang keluar dari lubang itu".

Setelah dihitung, ternyata lebih menguntungkan membebaskan petani dari pajak dibanding mengurus begitu banyak ibu. Tong Shanren lalu menyuruh pelayan-pelayannya membakar semua buku perhitungan pajak.

Tambah para Dewa, "Kamu juga harus memberikan gandum kepada orang miskin".

Tong Shanren menurut dengan berat hati.

Akhirnya tidak muncul lagi ibu dari lubang itu.

Tong Shanren memohon kepada para Dewa agar bersedia memberitahu mana ibunya yang sejati.

"Mereka semua adalah ibumu yang sejati. Kalau kamu tidak mengurus mereka, maka rumahmu akan menjadi abu", kata para Dewa.

Tong meminta pertolongan kepada Cao Guojiu. "Ini adalah hasil perbuatan jahatmu. Aku tidak bisa menolongmu", jawab Cao Guojiu.

Setelah itu Cao Guojiu pergi dengan mengendarai awan.

100 orang ibu terus membuat Tong kebingungan dan Tong Shanren tetap tidak mengetahui mana ibunya yang sejati.

Lan Caihe dan Jembatan Batu Giok

Lan Caihe biasa mengenakan baju tebal pada musim panas dan baju tipis pada musim dingin. Sepanjang tahun ia berkelana mengelilingi negeri tanpa mengenakan alas kaki.

Pada suatu hari di musim dingin, Lan Caihe berada di Sungai Giok di Nanyue.

Tiba-tiba badai salju turun.

Karena hari telah gelap, maka Lan Caihe memutuskan untuk bermalam di luar sebuah penginapan.

Keesokan harinya, sang pemilik penginapan dan anaknya membuka pintu penginapan dan melihat seorang laki-laki tidur di luar, tubuh tertutup dengan salju.

Dengan cepat, laki-laki itu dibawa masuk dan diletakkan dekat perapian.

Sang pemilik penginapan lalu membawa makanan hangat kepada laki-laki itu, Lan Caihe.

Lan Caihe tidak bersedia makan, tetapi ia meminta arak anggur.

Anak pemilik penginapan itu minum anggur dengan Lan Caihe.

"Namaku Lan Caihe, kamu siapa?", tanya Lan Caihe.

"Ayahku Zhu Xiang. Dia memanggilku Zhu Zi", kata sang anak pemilik penginapan.

Sesudah minum arak, tanpa membayar atau pun mengucapkan terima kasih, Lan Caihe pergi. Zhu Zi mengikutinya untuk melihat Lan Caihe menepuk-nepuk papan giok dan bernyanyi di jalanan.

"Apa yang dapat diberikan kepada nyanyian Lan Caihe? Orang-orang dahulu pergi dan tidak kembali, tetapi sekarang mereka datang berbondong-bondong....."

Penampilan dan suara yang bagus membuat Lan Caihe banyak menerima uang.

Saat hari mulai gelap, Lan Caihe bersama Zhu Zi pulang menuju penginapan.

Dalam perjalanan, Lan Caihe melihat Zhu Zi bermain sembunyi-sembunyian bersama anak-anak kecil.

Tiba-tiba ibu dari anak-anak kecil itu datang dan marah kepada anaknya sambil mengatakan bahwa mereka tidak boleh bermain bersama Zhu Zi atau nanti akan menjadi bodoh seperti Zhu Zi.

Ternyata, penduduk desa tidak mau bergaul dengan Zhu Zi, yang terbelakang, karena mereka takut tertular.

Pada malam hari sesampainya di penginapan, Lan Caihe membayar arak yang telah diminumnya kepada Zhu Xiang, pemilik penginapan. Namun Zhu Xiang tidak mau menerima uang itu. Bahkan ia menganjurkan agar Lan Caihe membeli baju hangat untuk musim dingin.

Lan Caihe tidak sungkan-sungkan minum sekendi arak setiap hari tanpa membayar. Siang hari ia mengadakan pertunjukan menyanyi di jalanan dan malam harinya menginap di penginapan itu.

Enam bulan telah berlalu, Lan Caihe, Zhu Xiang dan Zhu Zi menjadi teman dekat.

Pada suatu hari Inspektur Jenderal Propinsi Hunan menerima pengumuman resmi bahwa Kaisar akan datang mengunjungi Nanyue.

Untuk menjamin agar perjalanan Kaisar menyenangkan, Inspektur Jenderal itu memeriksa jalan-jalan menuju Nanyue. Dilihatnya jembatan Sungai Giok terlalu sempit. Ia memerintahkan Pejabat Daerah membuat jembatan yang cukup lebar agar kereta kuda bisa lewat dalam waktu satu bulan.

Karena waktu yang tersedia sangat singkat, maka sang pejabat daerah sendiri yang memimpin pembuatan jembatan itu.

Anehnya, jembatan yang telah dibangun sehari penuh lenyap pada malam harinya.

Pejabat daerah itu membangun lagi dan telah berusaha dengan segala cara, namun hal yang sama selalu terjadi, jembatan itu lenyap. Bagaimanapun sang pejabat daerah mencoba, jembatan itu selalu lenyap pada malam harinya.

Sang pejabat daerah tidak memiliki pilihan lagi sehingga menawarkan hadiah kepada siapa saja yang dapat melaksanakan tugas itu.

Namun tidak ada yang menanggapinya, karena kejadian jembatan yang hilang itu sangat aneh.

Pada hari ke-3 seseorang menerima tantangan itu, Zhu Zi. Penduduk desa sangat terkejut.

Saat Zhu Xiang sedang sibuk bekerja di penginapan, beberapa perwira militer datang untuk menagih janji Zhu Zi, membangun jembatan itu. Dengan terkejut Zhu Zi menjelaskan bahwa dirinya tidak pernah menerima tantangan itu. Tetapi perwira militer itu melihat sendiri Zhu Zi yang mengambilnya.

Pada malam harinya, Lan Caihe pulang dan memberitahu Zhu Xiang dan Zhu Zi bahwa dirinya telah menyamar sebagai Zhu Zi untuk menerima tantangan membuat jembatan.

"Membangun jembatan bukan masalah kecil. Jika gagal bisa dihukum mati", keluh Zhu Xiang.

Lan Caihe membujuk mereka agar tidak perlu cemas.

Lan Caihe lalu memercikkan secawan arak ke dinding dan muncul rancangan gambar jembatan di dinding.

Lan mengatakan bahwa jembatan yang telah dibuat sang pejabat daerah selalu dimakan oleh raksasa yang hidup di Sungai Giok. Dan Lan Caihe bersedia membantu Zhu Zi untuk menyingkirkan raksasa tersebut pada malam hari itu juga.

Lan Caihe lalu pergi ke Sungai Giok dan membakar kertas jimat di atas sebuah batu besar. Dalam sekejap batu itu telah membara.

Lan kemudian melempar batu yang membara itu ke sungai. Seperti yang dikatakan, tiba-tiba muncul binatang raksasa yang langsung menelan batu itu.

Karena menelan batu yang membara, perut binatang itu langsung terbakar. Dan binatang raksasa itu berubah kembali ke bentuk aslinya, seekor ikan lele yang besar.

Barulah Zhu Xiang dan Zhu Zi menyadari bahwa Lan Caihe adalah seorang Dewa.

Keesokan harinya, Zhu Zi membangun jembatan sesuai dengan rancangan Lan Caihe.

Setelah pekerjaan selesai, Zhu Zi mulai cemas karena ia tidak bisa mendapatkan batu yang besar untuk diletakkan diatas jembatan.

Diam-diam Lan Caihe membantu Zhu Zi, ia mengambil satu papan gioknya.

Papan giok itu mengembang sebesar jembatan, sehingga jembatan yang ada menjadi sebuah jembatan yang sangat indah.

Setelah itu, Lan Caihe menghilang.

Sejak saat itu, pandangan penduduk desa terhadap Zhu Zi berubah.

Karena jembatan itu terbuat dari batu giok, maka jembatan itu dikenal sebagai "Jembatan Batu Giok".

Keindahan Suara Suling

Orang tua Han Xiangzi meninggal dunia ketika ia masih kecil, dan sejak saat itu ia hidup bersama pamannya, Han Yu, seorang menteri pada pemerintahan Kaisar Hsing Tung dari Dinasti Tang.

Pada umur delapan tahun Han Xiangzi dapat menyusun syair. Berhasil lulus ujian kerajaan dengan peringkat kedua tertinggi pada umur enam belas tahun.

Suatu saat, Han Yu menyinggung perasaan Kaisar sehingga ia diasingkan ke Chaozhou, sebuah tempat terpencil dan miskin.

Pada malam hari, tempat itu sangat sunyi dan sepi.

Melihat keadaan yang penuh ketidakpastian dalam kehidupan, Han Xiangzi sering pergi ke daerah sekitarnya dan mengamati dirinya sendiri.

Han Xiangzi menghabiskan waktu dengan main suling bambu. Terkadang ia juga menghabiskan waktu dengan minum teh atau anggur bersama orang-orang berbakat.

Suatu hari, Han Xiangzi pergi ke Sungai Lijiang dan melihat seorang tua memainkan sulingnya.

Suara sulingnya halus dan indah. Han Xiangzi sangat kagum akan permainan suling orang tua tersebut.

Dalam kegembiraan, Han Xiangzi memainkan sebuah lagu dengan sulingnya.

"Anak muda, bersediakah anda bertanding denganku? Mari kita mencoba siapa yang berhasil menarik Suling Dewa.", kata orang tua itu.

"Suling Dewa?", guman Han Xiangzi.

"Itu adalah pekerjaan sulit. Aku telah menghabiskan seluruh hidupku untuk bermain suling dan tetap tidak berhasil membuat Suling Dewa itu muncul dari dasar sungai ini", tambah orang tua itu.

"Apakah Suling Dewa itu? Siapa yang menjatuhkannya ke sungai?", tanya Han Xiangzi.

"Seorang Dewi menjatuhkannya ke sungai. Siapa yang dapat memainkan musik surga maka akan membuatnya muncul", jawab orang tua itu.

"Jika begitu, saya akan mencobanya", kata Han Xiangzi.

Han Xiangzi lalu memainkan sebuah lagu kesayangannya.

"Itu tidak akan berhasil. Mana mungkin menggerakkan Suling Dewa", kata orang tua itu sambil pergi mendayung perahunya.

"Apa yang harus kulakukan?", tanya Han Xiangzi.

"Kamu pergilah mencari guru yang benar-benar bagus", jawab orang tua itu.

Han Xiangzi lalu pergi dari rumah pamannya dan mengembara dari satu tempat ke tempat lainnya.

Pada suatu hari, dari kejauhan Han Xiangzi mendengar seseorang memainkan sulingnya dengan indah dan merdu.

Ia lalu mencari sumber suara itu.

Ternyata seorang gadis sedang asyik memainkan sulingnya sehingga tidak menyadari kehadiran Han Xiangzi.

Tiba-tiba saja Han Xiangzi pusing dan jatuh pingsan. Suara jatuhnya Han Xiangzi membuat sang gadis sadar akan kehadiran seseorang di dekatnya.

Melihat seorang yang pingsan, gadis itu kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa.

Untung ayah gadis itu datang tidak lama kemudian.

Ternyata Han Xiangzi pingsan karena kelaparan.

Dibawanya Han Xiangzi ke rumah mereka. Setelah beristirahat, Han Xiangzi dapat sehat kembali.

Han Xiangzi sering mendengar permainan suling dari sang gadis, Lin Ying namanya.

Han Xiangzi tinggal bersama keluarga Lin selama setengah bulan. Mereka berteman baik, dan selama itu Han Xiangzi menaruh hati kepada Lin Ying.

Akhirnya Han Xiangzi menyatakan perasaannya kepada Lin Ying. Tetapi cinta itu hanya bertepuk sebelah tangan, karena sebenarnya Lin Ying telah memiliki seorang kekasih yang sedang melakukan perjalanan ke suatu tempat.

Mengetahui hal itu, Han Xiangzi sangat sedih dan menulis sebuah syair menggambarkan duka dan kecewa yang dialaminya.

Lalu Han Xiangzi pergi ke Sungai Lijiang dan memainkan suling untuk mengungkapkan kesedihannya.

Ternyata pada saat Han Xiangzi sedang memainkan suling, tanpa diketahui oleh Han Xiangzi, orang tua yang dahulu ditemuinya ada juga disana.

"Permainan suling ini sangat menyentuh. Aku tidak pernah mendengar permainan suling yang begitu mengharukan seperti saat ini", kata sang orang tua itu dalam hati.

Tiba-tiba muncul sinar yang menyilaukan dari dasar sungai, dan tidak beberapa lama kemudian muncul sebuah suling dari dasar sungai, Suling Dewa.

"Selamat. Anda berhasil mendapatkan Suling Dewa", puji sang orang tua kepada Han Xiangzi.

Di kemudian hari, Han Xiangzi mulai mendalami ajaran Tao.

Akhirnya Han Xiangzi dapat mencapai keabadian.

Dan Suling Dewa menjadi teman setia Han Xiangzi.

Han Xiangzi Memperdaya Kaisar


Negeri Tiongkok pernah dilanda bencana kekeringan panjang. Banyak penduduk yang meninggal karena kelaparan dan kedinginan.

Sang Kaisar saat itu adalah seorang yang hanya mementingkan diri sendiri dan mencari kesenangan pribadi. Ia menindas rakyat dan merampas barang berharga milik rakyat.

Suatu saat Han Xiangzi mengetahui bahwa kaisar sedang merayakan ulang tahunnya. Timbul keinginan Han Xiangzi untuk sedikit memberi pelajaran kepada Kaisar.

Han Xiangzi pergi ke taman bunga dan bertemu Peri Seratus Bunga. Ia meminta agar sang peri bersedia memberikan sekeranjang bunga. Peri Seratus Bunga mengijinkan dan meminta Han mengambil bunga itu sendiri.

Han Xiangzi mencoba memetik bunga, tetapi tidak bisa. Dicoba lagi, tetapi tetap tidak bisa.

Sambil tersenyum, Peri Seratus Bunga akhirnya mengambilkan sekeranjang bunga untuk Han Xiangzi.

Dalam sekejap, Han Xiangzi telah tiba di istana kaisar.

Han mengubah dirinya menjadi seorang pendeta yang mencari derma.

Penjaga pintu istana marah atas kedatangan Han dan mengusir dirinya.

Melihat perlakuan kasar yang diterima, Han Xiangzi lalu meluncur naik ke atas gerbang dan terbang menuju aula istana dan turun di luar aula.

Han Xiangzi masuk ke dalam aula dan melihat kaisar berada di aula bersama para pegawainya yang membawa hadiah.

"Kamu tidak membawa hadiah?", tanya kaisar saat melihat kehadiran Han Xiangzi.

"Aku datang untuk mengucapkan selamat ulang tahun kepada Baginda", kata Han Xiangzi.

"Kalau memang demikian, mengapa engkau tidak membawa hadiah?"

"Inilah hadiah ulang tahun dari hamba", kata Han Xiangzi sambil mengeluarkan sebutir biji semangka.

Kaisar marah, "Lancang! Beraninya kamu mempermainkan aku dengan sebutir biji. Pengawal, penggal kepalanya!"

"Tunggu", kata Han Xiangzi, "Memang ini hanya sebutir biji kecil. Tetapi ia dapat menghasilkan buah semangka yang besar sebagai hadiah ulang tahun."

Kaisar tidak percaya bahwa semangka dapat tumbuh pada musim dingin, "Kalau kamu berbohong, kepalamu akan kupenggal!"

Han Xiangzi meletakkan biji tersebut di celah lantai istana, lalu menyiramnya dengan semangkuk air.

Beberapa saat kemudian, tunas pohon semangka tumbuh dari celah itu. Tunas itu lalu berbunga dan berbuah, semangka bulat yang besar.

Han memotong semangka tersebut untuk dimakan kaisar dan para pegawainya.

Kaisar mengampuni Han dan memerintahkan agar Han membuat pertunjukkan yang lebih menarik.

Seiring dengan suara suling, sekeranjang bunga yang ada mulai mengeluarkan asap, lalu muncul semangkuk mie.

"Baginda, yang memakan mie ini tidak menjadi tua dan mati. Maukah anda memakannya?", tanya Han Xiangzi.

Kaisar melahapnya dengan rakus.

Namun sebanyak apa pun yang dimakan, kaisar tidak dapat menghabiskan mie yang ada.

"Jika anda tidak mau memakannya, tarik saja keluar dan jangan dibuang", kata Han Xiangzi sambil menarik keluar mie yang telah dimakan kaisar.

Han Xiangzi lalu mengambil 8 batang sumpit, dan berkata, "Datanglah dayang-dayang yang cantik!"

Dalam sekejap 8 gadis cantik muncul.

Kaisar terpukau kepada dayang-dayang yang cantik jelita itu.

Mereka menari tarian "Selamat Ulang Tahun".

"Hadiah ulang tahunmu paling indah. Aku akan mengangkatmu menjadi pejabat istana", kata Kaisar kepada Han Xiangzi.

"Hamba tidak ingin jadi pejabat. Hamba hanya ingin emas dan perak"

"Katakan saja berapa yang kamu inginkan, pasti kami berikan"

"Satu keranjang ini pun sudah cukup"

"Tidak ada masalah. Sepuluh keranjang penuh pun tidak ada artinya bagiku", kata kaisar.

Lalu Kaisar memanggil menteri yang mengurus penyimpanan emas dan perak. Menteri itu membawa keranjang Han ke gudang penyimpanan.

Hingga gudang itu kosong, keranjang Han belum terisi penuh.

Kaisar memerintahkan untuk membuka lagi 8 gudang yang lain. Tetapi keranjang itu tetap belum terisi penuh walaupun semua gudang telah kosong.

"Kemana kau sembunyikan emas permata itu?", tanya sang Kaisar.

"Aku terbangkan ke udara", jawab Han Xiangzi.

Kaisar menengadah, tetapi tidak melihat apa-apa.

Saat kaisar sedang tercengang, Han Xiangzi terbang keluar istana sambil tertawa terbahak-bahak.

Meskipun marah, Kaisar merasa tidak rugi karena mendapatkan 8 gadis cantik jelita sebagai penukar emas dan perak dari 9 gudang itu.

Ketika sang kaisar memerintahkan gadis-gadis itu untuk menghibur dirinya dengan nyanyian dan tarian, mereka secara tiba-tiba berubah menjadi 8 batang sumpit.

Dengan kemarahan meluap, Kaisar memerintahkan agar semua pintu ibukota ditutup untuk menangkap Han Xiangzi.

Namun Han Xiangzi sudah berada jauh dari ibukota saat itu.

Han Xiangzi lalu memberikan emas dan perak dari 9 gudang itu kepada penduduk yang membutuhkan.

Han Xiangzi Melukis Naga


Terdapat seorang bangsawan bernama Lai yang akan merayakan ulang tahunnya ke 60 tahun tidak lama lagi dan menginginkan perayaan ulang tahunnya meriah dan megah.

Lai mempekerjakan beberapa seniman untuk menghias ulang ruang utama gedungnya.

Setelah selesai, Lai menggantung sebuah layar di ruang utama dan menyuruh para seniman untuk melukis sesuai dengan bunyi sajaknya.

"Bila lukisan ini sesuai dengan bunyi sajakku, aku akan membayar kalian semua 2 kali lipat, bila tidak kalian tidak mendapat apa-apa", kata Lai.

"Gambar apa yang tuan inginkan?"

"Harus benda yang unik dilukis di dalam layar ini. Namanya harus terdiri dari satu kata, benda-benda yang terdiri dari 2 jenis jangan dilukis, dan harus merupakan benda langka"

Para seniman mula-mula melukis gambar dengan judul "Pohon Pinus dan Bangau yang Panjang Umur"

Bangsawan Lai berkomentar, "Salah! Pohon pinus dan bangau adalah dua benda"

Lalu mereka melukis seekor harimau.

Kata Lai, "Harimau adalah binatang yang sering dilihat orang, itu bukan sesuatu yang langka"

Karena tidak dapat melukis sesuai yang diminta oleh sang bangsawan, para seniman itu kehilangan upah mereka selama beberapa bulan.

Tiba-tiba datang seorang pendeta muda.

Pendeta muda itu menemui pemimpin seniman dan menanyakan permasalahan yang ada. Setelah mendapat penjelasan dari pemimpin seniman, pendeta muda itu mengatakan bahwa ia dapat melukis seperti yang diminta oleh Bangsawan Lai.

Pemimpin seniman merasa sangat senang mengetahui hal itu dan meminta pendeta muda itu melukis sebuah sketsa dahulu.

Pendeta muda itu meminta para seniman menyiapkan tinta.

Meskipun tinta sudah banyak, namun pendeta muda itu mengatakan bahwa tinta masih kurang. Setelah tiga hari berlalu, para seniman telah menghasilkan 3 tempayan tinta. Pendeta muda itu mengatakan bahwa tinta sudah cukup.

Tanpa membuat sketsa terlebih dahulu, pendeta muda itu mengambil sebuah sapu.

Dicelupkannya sapu itu ke dalam tinta, lalu disapukan ke seluruh permukaan layar dengan sekuat tenaga. Perbuatan pendeta muda itu membuat layar yang semula putih menjadi hitam.

Bangsawan Lai tidak menyangka bahwa tirai putih yang bagus itu akan dirusak oleh sang pendeta muda.

Bangsawan Lai menyuruh pelayan-pelayannya untuk mengusir pendeta muda itu.

Pendeta muda itu menjelaskan, "Aku belum menyelesaikan lukisanku. Layar ini harus ditutupi dahulu dengan kain, maka sebuah lukisan yang bagus akan muncul besok."

Dengan menahan marah, bangsawan itu menyuruh agar layar itu ditutup dengan kain.

Keesokan harinya, pada hari ulang tahun Bangsawan Lai, ketika tamu-tamu sudah berada di ruang tengah, pendeta muda itu membuka kain penutup layar.

Gambar seekor naga yang sedang melompat di antara awan muncul di layar itu.

"Sungguh gambar yang indah", seru para tamu.

Pendeta muda itu berkata, "Naga adalah makhluk langka. Namanya hanya terdiri dari satu kata. Maka bayar kami sekarang!"

Di hadapan tamu-tamunya Bangsawan Lai malu untuk mengingkari janjinya, ia membayar para seniman sesuai janjinya.

Seorang tamu mengenali pendeta muda itu dan mengatakan bahwa pendeta muda itu adalah Han Xiangzi.

Bangsawan Lai menjadi sangat gembira dan berkata, "Sungguh aku sangat beruntung, ada Dewa yang hadir dalam perayaan ulang tahunku."

Belum selesai Bangsawan Lai bicara, Han Xiangzi meniup layar itu.

Seketika itu terdengar suara guntur. Gambar naga di layar menjadi seekor naga hidup. Han Xiangzi langsung menunggangi naga itu lalu terbang ke angkasa.

Han Xiangzi meninggalkan sebuah sajak pada layar yang berbunyi, "Kamu tidak dapat mengenali Dewa sejati. Orang kikir seperti dirimu tidak pantas memiliki naga."


HE XIAN GU dan bunga teratai

He Xiangu adalah penduduk asli desa Niujiao si sisi Sungai Huai.

Orang tuanya meninggal ketika He Xiangu masih kecil. Ketika beranjak dewasa He Xiangu terpaksa bekerja pada Zhang Deli dan istrinya yang membuka sebuah restoran.

He Xiangu harus bekerja dari fajar sampai tengah malam setiap hari.

He Xiangu adalah seorang gadis yang baik hati dan sering memberi makan kepada orang miskin yang lewat tanpa sepengetahuan majikannya.

Tuan dan nyonya Zhang adalah orang serakah dan kejam. Mereka selalu memukuli He bila ketahuan menolong orang miskin.

Pada suatu hari, Zhang dan istrinya pergi. Meninggalkan He Xiangu dengan setumpuk pekerjaan yang harus dikerjakan sendiri.

Ketika sedang bekerja, tujuh orang datang dan meminta makanan kepada He Xiangu. Mereka tampak kurus kering dan pakaiannya compang-camping.

He Xiangu merasa iba dan cepat-cepat memberi mereka masing-masing semangkuk besar susu kedelai. Dalam sekejap, mereka menghabiskan susu kedelai itu. Sesudah mengucapkan terima kasih, ketujuh orang itu pergi.

Tidak lama kemudian, Zhang kembali dan menemukan susu kedelai yang ada hanya tersisa sedikit. He Xiangu terpaksa menceritakan apa yang terjadi.

"Cari ketujuh orang itu dan bawa mereka kemari. Jika tidak, aku akan mematahkan kakimu", kata nyonya Zhang dengan penuh kemarahan.

He Xiangu mencari ketujuh orang itu sambil menahan tangis.

Tidak lama kemudian, ia menemukan mereka. He Xiangu menceritakan kepada mereka apa yang terjadi.

Mereka bertujuh bersama He Xiangu kembali ke rumah Zhang.

"Kalian semua, kembalikan susu kedelai itu kepadaku", bentak nyonya Zhang.

Ketujuh orang itu memuntahkan susu kedelai ke wajan, dan setelah itu mereka pergi.

Nyonya Zhang menampar He Xiangu dan berkata dengan marah, "Karena kau yang memberi mereka makan, maka hari ini kamu harus menggiling 50 liter gandum".

Saat He sedang menggiling gandum, Lan Caihe masuk ke tempat penggilingan, ia menunjuk ke arah gandum itu dan merubahnya menjadi mie.

He baru menyadari bahwa para pengemis itu adalah Dewa. Ia berlutut dan memohon kepada LAN CAI HE agar ia diselamatkan dari neraka itu.

Kemudian He Xiangu menyerahkan mie itu kepada Zhang. Zhang bukan merasa senang, melainkan naik pitam karena tidak berhasil menyiksa gadis itu.

"Perempuan kurang ajar!", seru tuan Zhang, "Kau kuberi makan tetapi diam-diam menolong orang lain. Aku melarangmu makan apa pun hari ini".

Kemudian He diseret ke tempat ketujuh orang memuntahkan susu kedelai tadi dan dipaksa untuk meminum muntahan itu.

He terpaksa mematuhinya, tetapi ia langsung muntah ketika mencium bau muntahan susu kedelai itu.

Lan Caihe lalu mengaduk muntahan itu dengan papan batu gioknya tiga kali dan berkata, "Nona He, maaf, tetapi kamu harus meminumnya juga".

Ketika He meminumnya, muntahan itu berubah menjadi minuman susu kedelai yang lezat. Lan Caihe telah mengubahnya menjadi susu kedelai yang enak dan lezat.

Siang itu banyak tamu datang ke rumah makan itu. Zhang dan istrinya menyajikan banyak makanan.

Namun para tamu muntah-muntah setelah memakan makanan yang disajikan. Setelah diperhatikan, ternyata makanan itu adalah makanan sisa.

Ketika nyonya Zhang melihat ke dalam panci, ia terkejut karena sayur dan daging yang dimasaknya telah berubah menjadi makanan sisa.

Karena marah, Zhang memukuli pembantunya itu dengan saringan mie.

He Xiangu memegang saringan itu erat-erat sehingga terjadi pergumulan di tengah jalan.

Lan Caihe lalu membunyikan papan batu gioknya dan mulai bernyanyi, "Saringan, terbanglah ke Gunung Fenglai dan masalah ini akan selesai."

Saringan itu lalu mengeluarkan sinar dan mulai terbang mengangkat Zhang dan He Xiangu.

Zhang sangat takut dan berseru, "Dewa, tolonglah aku!"

Karena gemuk, tangannya cepat lelah dan Zhang pun jatuh.

Lan terus bernyanyi, "Walaupun engkau telah susah payah mengumpulkan uang, kau akan meninggal dalam kemiskinan."

Setelah itu, Lan Caihe melayang ke udara menaiki awan dan pergi ke Gunung Fenglai.

Di kemudian hari, He Xiangu bersama ketujuh Dewa lainnya menjadi DELAPAN DEWA

He Xiangu menjadi Dewa karena kebaikan hatinya. Ia satu-satunya wanita di antara Delapan Dewa. Ia berpenampilan halus dan lemah lembut, dan sering terlihat membawa bunga teratai yang dapat dipakai untuk mengobati orang sakit.

He Xiangu dan Jembatan Pendaratan Kuda



Di sebelah barat Tiantai di Propinsi Zhejiang, ada sebuah jembatan berbentuk bulan sabit yang dikenal dengan sebutan "Jembatan Pendaratan Kuda".

Menurut legenda, hiduplah seorang peramu obat yang rajin dan jujur di desa itu.

Sepanjang tahun, ia pergi memetik tumbuhan obat-obatan.

Sering ia harus memanjat tebing curam untuk mengumpulkan tanaman obat.

Suatu hari ia mendengar kabar bahwa Dewi He Xiangu tinggal di Gua Persik, tidak jauh dari desa itu.

He Xiangu terkenal ahli obat-obatan, sehingga peramu obat itu ingin meminta bimbingan He Xiangu.

Peramu obat itu pergi menuju Gua Persik. Setelah seharian berjalan, ia sampai di kaki gunung. Ia memanjat tebing gunung dan tiba di mulut gua.

Ia melihat dua orang sedang bermain catur. Karena tidak ingin mengganggu Dewa, ia memutuskan untuk berdiri dan melihat mereka bermain catur.

Setelah permainan selesai, He Xiangu menanyakan maksud kedatangan peramu obat itu.

"Aku datang ingin belajar banyak tentang tanaman obat dari Dewi He Xiangu", jawab peramu obat itu.

"Saya He Xiangu. Beribu-ribu jenis tumbuhan obat-obatan tumbuh di sekitar gua ini. Mari kuperkenalkan satu persatu", ajak Dewi He.

He Xiangu memberitahu nama-nama tanaman obat, sifat-sifat dan khasiatnya.

Waktu cepat berlalu dan langit mulai gelap.

"Li Tieguai dan aku punya janji. Kamu tinggal di sini malam ini dan aku akan mengirimmu pulang besok", kata He Xiangu.

Kedua Dewa itu pergi naik awan.

Satu malam telah lewat.

Keesokan harinya, sang peramu obat keluar dari gua dan menemukan dirinya dikelilingi oleh tebing-tebing curam.

Ketika ia ingin menuruni tebing, He Xiangu datang.

"Makanlah dahulu. Sesudah itu aku akan menyiapkan kuda untukmu", kata He Xiangu.

Peramu obat itu mendapatkan makanan yang luar biasa lezat sehingga membuat dirinya nikmat dan segar.

Dewi He memetik beberapa helai rumput dan mulai menganyam. Tidak lama kemudian terbentuklah kuda yang sepanjang lima inch.

Sambil memegang kuda itu, He Xiangu membaca mantera. Kuda rumput itu lalu berubah menjadi seekor kuda hidup.

Peramu obat mendapatkan cangkulnya sudah berkarat dan keranjangnya telah rusak. He menjelaskan, "Satu hari disini sama dengan beberapa tahun di bumi".

He menyuruh peramu obat itu menaiki kuda yang ada.

"Jalan!", perintah He Xiangu. Kuda itu langsung melesat bagaikan angin.

"Selamat tinggal Dewi He", seru peramu obat itu.

Tidak lama kemudian, peramu obat itu melihat jembatan di desanya. Kuda itu lalu mendarat dengan selamat di jembatan itu.

Setelah meringkik tiga kali, kuda itu terbang kembali ke gua.

Peramu obat pulang ke rumahnya, dan menemukan bahwa pagar rumahnya sudah runtuh, hanya tembok batas yang tersisa.

Penduduk desa berdatangan menemui peramu obat itu, namun tidak ada satu orang pun yang mengenalinya.

Akhirnya, seorang kakek tua dengan rambut putih beruban mengenali peramu obat itu. "Engkau sudah hilang bertahun-tahun. Orang-orang mengira engkau sudah meninggal", kata sang kakek.

Peramu obat itu menceritakan semua yang dialaminya kepada penduduk desa dan mereka terpesona.

Di kemudian hari, peramu obat itu mewariskan pengetahuannya kepada generasi selanjutnya.

Sejak itu, jembatan tempat peramu obat itu mendarat dinamakan "Jembatan Pendaratan Kuda".

He Xiangu Tidak Mematuhi Perintah


Ketika Wu Zetian menjadi ratu, ia mencari obat panjang umur.

Menteri yang paling dekat dengannya, Li Cheng, memberitahu, "Tuanku, ada Dewi bernama He Xiangu yang bermukim di kota Zeng, Propinsi Guangdong. Ia selalu memetik tumbuhan obat-obatan di gunung-gunung. Cobalah meminta pertolongan kepadanya."

Wu sangat gembira mengetahui hal itu, ia lalu mengirim Li ke Guangdong untuk memanggil Dewi He.

Dengan memanfaatkan kedudukannya sebagai pejabat istana, Li Cheng memeras rakyat di sepanjang perjalanan dan mendapatkan banyak uang.

Tidak jauh dari perbatasan Propinsi Guangdong, Li dan para pengikutnya tiba di sebuah lembah. Saat itu udara sangat panas dan mereka tidak dapat menemukan air untuk minum.

Li Cheng memerintahkan orang-orangnya untuk mencari air.

Saat itu Li melihat di atas tebing ada seorang gadis yang sedang memetik tumbuh-tumbuhan obat. Li menyuruh gadis itu turun untuk menunjukkan jalan.

Gadis itu melompat turun dari tebing yang tingginya mencapai 100 meter tetapi tidak cedera.

Li Cheng berseru, "Aku adalah pejabat kerajaan. Katakan dimana ada air!"

Gadis itu menjawab, "Tempat ini gersang dan bergunung-gunung. Di sini tidak ada air namun ada pohon buah plum di tebing-tebing. Engkau bisa memakan buah plum sebagai pelepas dahaga."

Li Cheng melihat ke atas tebing, dan melihat bahwa tebing itu sangat tinggi. Ia tidak dapat mencapai pohon buah plum itu.

Gadis itu dapat mengetahui apa yang sedang dipikirkan Li, dengan lemah gemulai ia melayang naik ke pohon plum.

Dipetiknya setengah keranjang, lalu melompat turun dan memberikannya kepada Li. Karena sangat haus, Li dan pengikutnya menghabiskan buah plum itu dengan cepat.

"Di mana tempat tinggal He Xiangu?", tanya Li Cheng kepada gadis itu.

Gadis itu menjawab sambil tertawa, "Ia berada dihadapanmu. Akulah He Xiangu."

Li berusaha untuk menangkap He sambil berkata, "Ikutlah denganku menemui Ratu."

Namun Li tidak berhasil menangkap He. Tiba-tiba ia merasa seluruh tubuhnya nyeri, mulutnya terasa panas dan berubah menjadi mulut babi. Kaki dan tangannya menjadi pendek dan kasar. Ia berubah menjadi makhluk aneh.

Li memerintahkan kepada para pengikutnya untuk menangkap He. Ketika saling pandang, mereka terperanjat.

Baru disadari bahwa Dewi He telah menunjukkan kesaktiannya. Mereka lalu bersujud minta ampun.

Dewi He berkata, "Kau telah menggunakan kekuasaan dan pengaruh Wu Zetian untuk melakukan kejahatan. Kau harus merangkak pulang ke Ibukota. Di sana kau akan kembali normal."

Dengan terpaksa Li Cheng meninggalkan semua uang yang diperolehnya dan mulai merangkak. Demi menghindari agar tidak dilihat orang, ia merangkak pada malam hari.

Setelah 6 bulan, mereka tiba di Ibukota. Ketika masuk Ibukota, Changan, mereka berubah kembali menjadi manusia biasa.

Ratu Wu sangat gusar mendengar laporan Li. Diperintahkan Li menangkap He Xiangu dengan membawa 100 orang pasukan berkuda.

Pasukan itu tiba di kota Zeng dan mengepung kediaman He Xiangu.

He Xiangu keluar dan berkata, "Li Cheng, aku tahu kamu diperintahkan untuk menangkapku oleh Ratu Wu. Apakah engkau akan menangkapku dengan paksa atau secara baik-baik?"

Karena Li mengetahui keahlian He Xiangu, ia memilih cara damai. He menyuruh Li menyediakan tandu untuknya.

Lalu He Xiangu menyerahkan keranjang dan cangkul yang bisa digunakan untuk mencari tanaman obat untuk dipakai di istana.

Cangkul dan keranjang itu sangat berat, sehingga Li Cheng terpaksa menyediakan dua tandu lagi untuk mengangkut cangkul dan keranjang itu.

Ketiga tandu itu sangat berat dan membuat orang yang membawanya bercucuran keringat. Li memerintahkan untuk bergantian membawanya.

Di tengah perjalanan, seorang pengemis yang kakinya penuh luka menghentikan iring-iringan dan meminta He Xiangu mengobatinya.

Karena He Xiangu meminta berhenti, dengan terpaksa Li menghentikan perjalanan.

Setelah mengobati orang itu, He naik kembali ke tandu untuk melanjutkan perjalanan ke Ibukota Changan.

Saat tiba di Ibukota, Ratu Wu segera memanggil He Xiangu menghadap di Ruang Kekaisaran.

Ketika Li Cheng menyingkap tirai tandu, ia sangat terkejut karena hanya terdapat sebuah semangka besar dalam tandu.

Ratu Wu memaki Li Cheng dengan penuh kemarahan, "Kau menipuku!" Lalu menteri itu dihukum mati di depan Gerbang Wu.

Pada saat itu terdengar suara tawa He Xiangu dan Li Tieguai yang sedang berdiri diatas awan.

Li Tieguai melemparkan selembar kertas kuning dan dipungut oleh Ratu Wu Zetian. Pada kertas itu tertulis, "Tidak ada obat umur panjang di dunia. Setiap kaisar akan meninggal pada waktunya."


xmlns="http://www.sitemaps.org/schemas/sitemap/0.9">

http://www.felixviery-web.blogspot.com/
2009-02-13
always
0.8

Tidak ada komentar:

Ingin mengetahui lebih banyak ? Masukan email anda disini

Enter your email address:

Delivered by FeedBurner